Senin, 31 Oktober 2011

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)


Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)


Pendahuluan

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan  pada tanggal 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan pada usaha meningkatkan kepedulian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya, dalam upaya melindungi dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungannya. 

Visi
Visi YLKI adalah tatanan masyarakat yang adil dan konsumen berani memperjuangkan hak-haknya secara individual dan berkelompok.

Misi
1. Melakukan pengawasan dan bertindak sebagai pembela konsumen.
2. Memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok konsumen
3. Mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pengawas kebijakan publik
4. Mengantisipasi kebijakan global yang berdampak pada konsumen.

Nilai
Nilai-nilai dasar yang dianut YLKI adalah non profit, non partisan, tidak diskriminatif, demokratis, keadilan sosial, keadilan gender, keadilan antar generasi, hak asasi, solidaritas konsumen, dan independen




Teori

Strategi dan Kegiatan YLKI

Advokasi
Mempengaruhi para pengambil keputusan di sektor industri dan pemerintahan agar memenuhi kewajibannya terhadap konsumen, pada tingkat lokal dan nasional.

Penggalangan Solidaritas
Meningkatkan kepedulian kritis konsumen melalui penggalangan solidaritas antar konsumen, serta melalui prasarana kegiatan berbagai kelompok konsumen.

Pengembangan Jaringan
Memperkuat kerjasama antar organisasi konsumen dan juga dengan organisasi kemasyarakatan lainnya pada tingkat lokal, nasional, regional dan internasional.

Penyebaran Informasi yang Tidak Memihak
Mengimbangi informasi yang telah ada dengan informasi dan data objektif lainnya yang diperoleh berdasarkan kajian dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pembahasan

Langkah Awal Menuju Gerakan Konsumen
Pendirian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) didasari pada perhatian atas kelangkaan produk nasional yang berkualitas dan kecenderungan memilih dan berbelanja produk impor di era tahun 70an, serta perhatian terhadap perlunya pemberdayaan bangsa dan produksi dalam negeri. Kelembagaannya disahkan melalui Akte Notaris Loemban Tobing,S.H pada tanggal 11 Mei 1973.

YLKI diprakarsai oleh figur-figur yang telah ikut berjasa dalam masa perjuangan kemerdekaan, sebagian besar diantaranya adalah para tokoh perempuan pejuang seperti Ibu Sujono Prawirabisma, Ibu SK Trimurti, Ibu Soemarno serta Ibu Lasmidjah Hardi (yang kemudian menjadi Ketua YLKI pertama).
Keberadaan YLKI diharapkan tidak hanya dapat mendorong penggunaan produk dalam negeri ditengah maraknya keberadaan produk impor, tetapi juga memperkuat posisi konsumen.

Berbeda dengan gerakan konsumen di negara-negara maju, gerakan konsumen di Indonesia tidak hanya berfokus pada kepentingan konsumen semata. Sebagai suatu negara berkembang, dimana produsen juga dianggap masih berada pada tahap pertumbuhan, diperlukan sudut pandang yang seimbang untuk menilai kepentingan konsumen dan produsen. Dukungan Presiden dan Gubernur Jakarta pada masa itu merupakan pendorong bagi keterlibatan lembaga Pemerintah lainnya dalam kegiatan YLKI.

YLKI bergabung dengan Organisasi Konsumen Internasional (International Organization of Consumer’s Union – IOCU) sejak 15 Maret 1974, dan telah menjadi Anggota Penuh dari Organisasi yang sekarang dikenal sebagai Consumers International (CI).

Masa-Masa Penggalangan Kekuatan
Pertumbuhan ekonomi nasional pada era tahun 70an sampai awal tahun 80an diwarnai dengan perkembangan yang pesat dalam sektor industri, tetapi belum disertai dengan peningkatan kualitas barang dan jasa. Dalam masa kini, YLKI memusatkan kegiatannya untuk melakukan pengawasan atas kualitas berbagai barang dan jasa yang beredar di pasaran, yang sebagian besar masih belum memenuhi standar. Berbagai masukan yang diberikan YLKI bagi Pelaku Usaha dan Pemerintah sangat penting bagi perbaikan dan penetapan standar mutu.

Selama dekade 80an, YLKI mengembangkan kesadaran baru atas pentingnya melibatkan masyarakat secara langsung dalam upaya memperkuat jaringan yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan perlindungan konsumen. Pada periode ini YLKI mengerahkan segala upayanya untuk pembangunan jaringan, pengembangan institusi serta pemahaman ideologi gerakan konsumen /konsumerisme. Selama dekade ini, kekuatan YLKI juga difokuskan untuk mendesakkan sebuah kebijakan strategis dan mendasar agar negeri ini mempunyai Undang-undang Perlindungan konsumen.

Pada dekade 90an, ketika Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah menjadi hukum positif di Indonesia, agenda terbesar YLKI adalah agar UUPK mampu menjadi produk hukum yang efektif untuk melindungi konsumen. Periode ini juga merupakan masa di mana YLKI menjalankan peranan penting dalam pengawasan atas efek negatif dari pemberlakuan perdagangan bebas dalam era globalisasi, antara lain dalam menghadapi privatisasi berbagai komoditas publik yang berpotensi menjadi instrumen efektif untuk mereduksi hak-hak konsumen.

Konflik Adat di Aceh

Konflik Adat di Aceh
 
Pendahuluan Wilayah Aceh terletak di bagian Utara Pulau Sumatera seluas 5.736.557 hektare. Saat ini Aceh dinamakan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Populasi penduduk Aceh menurut data tahun 2004 adalah 4.264.103 jiwa. Mereka hidup dan tinggal mulai dari daerah-daerah pesisir sampai ke daerah pegunungan dan hutan. Pada tahun 1964, Lebar membagi populasi Aceh ini ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan kondisi geografisnya, yaitu ureung gunong (kelompok masyarakat yang hidup di wilayah dataran tinggi atau pegunungan) dan Ureung Barôh (kelompok masyarakat yang hidup di dataran rendah).
Teori Dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah Aceh, keberadaan masyarakat adat sudah diakui sejak tempo dulu. Secara umum mereka sering kali menyebut diri mereka sebagai ureueng Aceh (orang Aceh). Lebih khusus, terdapat beberapa kelompok etnik/ adat dengan identitas dan keberadaan sesuai sejarah keturunan, unit-unit wilayah, dialek atau bahasa ibu, sosial dan budaya, hukum-hukum tradisional, yang setiap kelompok komunitas ini merupakan kelompok otonom dan independen dalam mengatur komunitasnya sebagaimana halnya pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Unit sosial politik terkecil dari kelompok adat ini disebut gampông (setara dengan kampung/ desa) dan dikepalai oleh seorang kechik atau geuchik. Beberapa gampông biasanya tergabung dalam unit pemerintahan yang lebih besar. Unit lebih besar itu disebut kemukiman. Kemukiman dikepalai oleh seorang imam mukim atau dalam masyarakat Aceh disebut imuem mukim. Baik di tingkat gampông dan tingkat kemukiman, terdapat institusi adat yang berfungsi dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Selain itu, terdapat hukum adat yang juga otonom di setiap unit kewilayahan.
Dalam konteks politik dan hukum nasional, kelompok etnis ureung Aceh dan juga hak-hak mereka secara turun temurun telah diakui oleh Negara Indonesia sebagai "Masyarakat Hukum Adat"’. Namun, pembangunan sosial politik di Provinsi NAD serta kebijakan dan praktik pembangunan di Aceh tidak menghargai, menghormati, maupun mengakui keberadaan masyarakat adat Aceh tersebut.
Sumber daya alam yang telah dipraktikkan secara turun-temurun dan dimiliki sesuai dengan hukum adat telah dieksploitasi sedemikian rupa. Di lain pihak hak-hak sosial ekonomi masyarakat adat tidak dihormati oleh perusahaan yang didukung kebijakan pemerintah. Peran dan otoritas kepemerintahan adat yang ada selama ini telah dikooptasi dan dibatasi, sedangkan hak untuk mengeluarkan pendapat dan hak untuk berkumpul dibatasi sedemikian rupa sehingga hak-hak sosial politik serta hak-hak ekonomi sosial budaya mereka terkesan diabaikan atau tidak diperhatikan. Komunitas-komunitas masyarakat adat menjadi korban kekerasan bersenjata dan kebrutalan tindakan militeristik yang telah membuat mereka menjadi kehilangan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam, menjadi korban bencana banjir tahunan, pencemaran dan dampak lainnya sebagai konsekuensi dari aktivitas pembangunan serta kerusakan lingkungan hidup.
Konflik sosial politik di Aceh telah memakan korban yang sangat besar. Berdasarkan data tahun 2004, selama operasi militer, 340 masyarakat sipil telah menjadi korban, 140 terluka dan sekitar 23.000 orang harus menjadi pengungsi. Sekitar 525 sekolah terbakar dan 60.000 murid sekolah saat ini harus terabaikan, ditambah lagi bencana mahadahsyat 26 Desember 2004, keadaan masyarakat adat Aceh semakin memprihatinkan.
Pembahasan Beberapa kasus nyata yang harus dihadapi oleh komunitas masyarakat adat diantaranya:
  • Konflik antara penduduk desa yang bermukim di sekitar zona industri Lhokseumawe dengan perusahaan, seperti PT. Arun, PT. Exxon Mobil, PT. Kertas Kraft Aceh, PT. ASEAN Aceh Fertilizer (AAF), PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupannya.
  • Konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan penebangan kayu PT. Hargas Industri Timber di Tapak Tuan (Aceh Selatan). Perusahaan tersebut mendapatkan konsesi untuk melakukan penebangan hutan. Selain mengeksploitasi kayu batangan, perusahaan itu juga melakukan teror kepada masyarakat yang memprotes aktivitas perusahaan dan membakar pondok-pondok masyarakat. Mereka juga menuduh masyarakat sebagai pencuri kayu.
  • Konflik antara kelompok masyarakat adat di Sawang, Aceh Utara, dengan perusahaan PT. Kertas Kraft Aceh yang dimiliki oleh Bob Hasan yang didirikan pada tahun 1982. Perusahaan tersebut juga dimiliki oleh Sigit Harjojudanto serta Ibnu Sutowo dan A.R. Ramli-dua orang mantan petinggi Pertamina.
  • Konflik antara kelompok masyarakat adat di Takengon, Aceh Tengah, dengan perusahaan penebangan hutan PT. Halas Helau. Perusahaan ini memiliki konsesi seluas 330.000 hektare dan juga memiliki konsesi untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 175.000 hektare, serta HTI untuk Takengon Pulp and Paper Ltd., seluas 166.500 hektare. Perusahaan ini dimiliki oleh pengusaha asal Aceh, Ibrahim Risyad dan Gunadharma Hartarto.